Salah satu Hak Asasi Manusia yang paling fundamental adalah Hak untuk berpikir dengan bebas. Setiap manusia boleh memiliki varian opini, baik pro maupun kontra untuk menghasilkan kesimpulan yang objektif dan berimbang pada akhirnya. Lantas apa yang terjadi jika seandainya kebebasan berpikir diintervensi dengan sanksi? Masihkah layak disebut ‘asasi’? Ketika individu dilatih dan ditempa untuk bersikap skeptis dan kritis terhadap segala sesuatunya, sementara suara lirih mereka untuk menyuarakan aspirasi dibungkam semena-mena demi kepentingan salah satu pihak semata, mungkinkah mereka akan diam begitu saja?
Jawabannya adalah tidak. Mengapa?
Karena manusia adalah makhluk petarung dalam artian akan berjuang sepenuhnya demi mempertahankan idealisme berpikir mereka meskipun penuh resiko. Paling tidak untuk yang berprinsip dan berideologi baja, mereka tidak akan manggut-manggut ketika dihadapi oleh sebuah tantangan. Mereka akan melawan dengan segenap daya dan kekuatan.
Namun sebuah opini yang terlampau spekulatif dan subjektif – tanpa diimbangi data-data proporsional yang memadai – akan menghasilkan buah yang berbahaya untuk dikonsumsi penerimanya. Sebagai mahasiswa jurnalistik, rasanya sungguh bodoh jika kita mengabaikan faktor-faktor krusial tersebut. Oleh karena itu, saya yakin akan segala akurasi dan aktualisasi penulisan yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa jurnalistik, terutama di universitas ini.
Sama halnya dengan kritik. Kritik memiliki dua orientasi : konstruktif (membangun) dan destruktif (menjatuhkan). Setiap manusia juga memiliki kebebasan untuk mengkritik. Hanya saja bentuk kritik manakah yang lebih baik? Tentu idealnya adalah bentuk kritik yang pertama karena seutuhnya terbentuk dari tujuan mulia. Terlepas dari kepentingan pribadi, dengan niat hanya untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik. Tidak ada pihak yang dirugikan dalam kritik semacam ini. Hasil akhir dari sebuah kritik konstruktif dikenal dengan istilah win-win solution, di mana tidak ada satupun pihak yang dirugikan dan tercemar reputasinya. Semua menang, semua senang.
Permasalahan timbul ketika ‘subjek yang dikritik’ (selanjutnya akan disebut ‘A’) ternyata tidak memberikan feedback positif, sementara sejumlah upaya penyaluran kritik telah disampaikan. Proses demi proses internal telah dilakukan seraya dirintangi sistematika hierarkis yang ada, dan masih belum ada juga tindak lanjut yang dilakukan oleh ‘A’. Tidak ayal lagi, langkah yang diambil olehnya justru malah menggiring ‘subjek yang mengkritik’ (selanjutnya akan disebut ‘B’) untuk mengambil cara nonformal, dengan resiko yang jauh lebih berbahaya bagi kredibilitas ‘A’.
Akan tetapi tentu saja cara nonformal bukanlah cara yang paling tepat. Banyak kelemahan jika pemberian kritik diterapkan melalui jalur ini. Selain membahayakan reputasi ‘A’, ‘B’ juga akan menerima pandangan negatif, sebagai musuh dalam selimut jika berdiri dalam satu entitas yang sama dengan ‘A’.
Lalu apa yang sebaiknya ‘B’ lakukan? Apakah kritikan ‘B’ akan selamanya diacuhkan oleh ‘A’ sehingga ‘B’ memilih untuk mencari langkah-langkah baru lagi dalam mengkritik? Sementara suara ‘B’ semakin lama semakin lirih, semakin lelah, dan semakin hilang akal mencari solusi yang lebih akomodatif bagi kedua belah pihak.
Hanya satu hal yang dapat disimpulkan oleh ‘B’, bahwa keacuhan ‘A’ akan kritik membuktikan dirinya sama sekali inkompeten dan immature dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana yang seharusnya ia lakukan. Amat sangat disayangkan jika proses interaksi dan komunikasi antar kedua belah pihak tidak dapat berjalan dengan lancar. Percuma saja ‘A’ mengusung konsep demokratis, sementara ada kritikan-kritikan (konstruktif) tertentu yang dianggap irelevan lantas diacuhkan. Percuma saja ‘A’ memberi sanksi, toh ‘B’ akan terus melawan.
.P as ‘B’
Pandji Putranda
(Jurnalistik 2009)
Pandji Putranda
(Jurnalistik 2009)
mantap mas ..
ReplyDeletekeren .. gw masih menunggu untuk melihat aksi lebih lanjut lagi nh .. ehmm ..