Thursday, December 2, 2010

The Best Part of Writing a Note is to Named It

by Inasshabihah Syalala (Ilkom 2010)
on Wednesday, January 20, 2010 at 1:26pm

Pekat. Gelap. Sunyi. Senyap. Sumbat. Sambat. Terlambat.

Aku menunduk dalam dalam, tak berani menatap matanya yg cemerlang dan slalu menggetarkan hati itu.

"Aku minta maaf," lirihku.

ia seperti tak mendengar. Aku memejamkan mata cepat, dalam, kasar, memaksa.

"Aku minta maaf," kini tidak lagi lirih, tapi rintih.

Ia tak memberi respon apapun. Ia hanya diam. Ia berdiri, dan aku bersimpuh. Aku terlalu takut dan malu untuk menengadah menatapnya.

"Tolong maafkan aku ..."

Lagi lagi kuulang. Oh Tuhan, sekeras itukah hatinya?
Padahal kemarin ia memberi tatapan penuh arti, seperti ingin bicara, "apa kabar? bagaimana keadaanmu dengan pacarmu?"

Atau mungkin seperti ingin bercerita, "sungguh aku sedang sedih, ia melepasku begitu saja. aku tak bisa memendam kesedihan ini. bisakah aku bicara denganmu? aku ingin curhat"

Oh Tuhan, tatapan mata itu SANGAT menyakitkan. Tapi kenapa sekarang ia berubah? Bahkan menatapku pun tak mau. Aku tak tahan dan minta maaf, hingga bersimpuh tak karuan. Kenapa ia tak berkutik?

"Memang kau salah apa?"

tiba-tiba ia bersuara. tapi agak samar, serak, merdu. oh Tuhan, suara itu! aku rindu!

"Ya aku salah karna pernah merasakan perasaan yg harusnya tak boleh kurasakan kepadamu. Maafkan aku, aku terlalu lancang. Harusnya tak begini. Harusnya kita cukup berteman. Harusnya aku tau diri dan tau malu. sungguh aku minta maaf, aku tak berdaya tanpamu."

Ia tak membalas. Ia diam.
Aku meremas-remas dalam genggaman tanganku sendiri. "Maafkan aku... maafkan aku..maafkan aku" dzikirku.

"Mengapa kau menangis begini parah?"
oh Tuhan! ia bertanya lagi!
Cepat ku jawab.

"aku kehilangan teman sepertimu sejak kau pergi. aku tak ada teman 'gila' lagi. ya, yg lain memang gila. tapi tak senyaman bercanda denganmu. setidaknya, jangan diamkan aku begini. aku mohon.. aku akan perbaiki semua itu. aku mohon, toh aku sudah punya yg lain. aku tak akan mengusikmu. sumpah .. sumpah..."



lalu ia mengangkat kakinya kasar. pergi. ia tak mendengarku.

bahkan kini, ketika napasku sudah tinggal satu-satu. saat tak lama lagi aku akan meninggalkan tempat ini, aku belum menemuinya. ia dekat, kawan. aku bisa melihatnya, ia juga melihatku.
ya,
dengan tatapan itu..
tapi mengapa kisah ini berakhir begini saja? kenapa menggantung? kenapa tidak berakhir dengan indah?

kau tahu?
aku pun bertanya. tapi apa setiap pertanyaan harus ada jawabannya?

No comments:

Post a Comment