Friday, September 21, 2012

Cerpen

MUSUHKU, CINTAKU

 oleh Angela Limawan

Tidak setiap orang sama walaupun dia tinggal di negara yang sama. Memiliki budaya, bahasa, kehidupan yang sama. Tapi pribadi seseorang tidak akan sama. Itulah satu hal yang sangat penting baru aku pelajari. Walaupun aku membeci negara itu, tapi aku akan salah jika aku membenci semua orang dari negara itu. Bukan negaranya yang jelek dan menyebalkan tapi sebagian orang di dalamnya yang membuat negara itu terlihat buruk di mata orang lain. Bahkan ternyata dengan beberapa orang yang suka membuat ulah dengan negara lain, bisa menjadikan sebagian warganya juga ikut membenci negaranya sendiri. Tentu saja karena negaranya terus menerus membuat konflik dengan negara lain. Ini benar – benar pengalaman yang luar biasa dalam hidupku, karena Tuhan benar – benar membuka mataku agar aku sadar bahwa selama ini aku telah salah menilai orang. Dan aku lebih menyesal lagi saat sadar bahwa orang yang aku benci adalah orang yang kelak bisa membuatku jatuh cinta padanya.
            “ Gung, u ambil jurusan ap?”                                                
            “ Gw ambil komunikasi. U?”
            “ Gw bisnis. Wah, beruntung banget u. Tadi gw liat cewek cantik banget lagi nyari kelas. Dia komunikasi juga. Eh, kalo u uda kenal dia, kenalin gw y!”
            “ Dasar u! Uda sana masuk, gw juga mo masuk. Ntar ketemu di kantin y.”
            Di dalam kelas, tiba – tiba mataku tertuju pada seorang gadis cantik dengan rambut lurus, putih, lembut. Dan dalam hatiku berkata,” Siapa dia? Apa aku jatuh cinta pada pandangan pertama? Dia benar – benar tipe cewekku.” Aku langsung berkenalan dengannya.
            “ Halo, nama w Agung Pranata. Nama u?”
            “ W Tifanny Khrisma. Salam kenal.”
            Dalam hatiku berkata lagi,” Wah, ni cewek ga canggung kenalan ama orang baru. Ga neko – neko kaya cewek laen y.”
            “ Hai Agung sayang, ko kamu ninggalin aku sih! Kita duduk bareng y.” Langsung duduk di sampan Agung sambil memeluknya.
            “ Eh, Cas apa – apaan sih u.  Ga sopan banget!”
            “ Sori sayang. Eh, siapa nih?”
            “ Kenalin dia temen baru w namanya Tifanny. Fan, kenalin nih Casey Clow.”
            “ Well, sebenernya w bukan temen biasa buat Agung. Salam kenal y. Btw u tinggal di mana y?”
            “ Apa – apaan sih u! Dan kenapa u nanya dia tinggal di mana? Emang kalo dia tinggal di rumah yang jelek u bakal ngebully dia? Awas y u!”
            “ Ih, ko kamu ngomongnya gitu sih ama aku, Bab. Nggak ko, aku kan cuma nanya, gak apa – apa kan Fan?”
            “ Gak apa ko, w tinggal di asrama pasturan St. Angela karena w dari luar negri. W dari …..”
            “ Slamat pagi anak – anak. Hari ini kita belum akan memulai pelajaran. Kita hanya akan perkenlan satu sama lain. Baik, ibu akan mulai memperkenalkan diri. Nama ibu, Veronika. Ibu dosen komunikasi di Universitas Garuda ini. Ibu sudah 3 tahun mengajar di sini. Jadi ibu sangat berharap pada kalian semua untuk bisa seperti kakak kelas kalian yang sudah lulus dengan baik. Dan universitas ini bukan universitas yang bisa memberikan toleransi pada apapun. Jadi jika tidak bisa mengikuti peraturan yang ada di sini, silahkan keluar. Karena ibu menilai kalian bukan hanya dari pengetahuan, tugas, atau ulangan saja tapi juga sikap. Mengerti! Sekarang, ibu akan absent satu per satu dan ceritakan tentang diri kalian. Kalian masuk ke fakultas komunikasi harus bisa belajar berkomunikasi yang baik dan benar lebih dari anak – anak fakultas lain. Baik, ibu mulai dari Agung Pranata. Silahkan!”
            “ Saya Agung Pranata. Saya dari SMA Kanisius Jakarta. Hobi saya adalah bermain futsal. Trima kasih.”
            “ Berikutnya Casey Clow.”
            “ Saya Casey, saya dari SMA Theresia Jakarta. Hobi saya belanja dan nonton bioskop.”
            “ Hah, ya ampun. Baik, berikutnya Tifanny Khrisma.”
            “ Nama saya Tifanny Khrisma. Saya dari SMA Harapan Mulia Malaysia.”
            “ Wah, jauh sekali kamu kuliah di sini. Bisa beritahu kami kenapa kamu pindah ke Indonesia?”
            “ Apa? Dia dari Malaysia? Negara yang aku benci yang selalu membuat konflik dengan Indonesia? Hah, dasar! Seharusnya dari awal aku tidak boleh tertarik dengannya. Dia musuhku, dan aku harus mengalahkannya!” Agung menggerutu dalam hati.
            “ Ayah saya pindah bekerja di perusahaan di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Jadi keluarga kami memutuskan untuk tinggal dan menetap di sini.”
            “ Dengar anak – anak, bukan berarti Negara kita yang selalu berkonflik dengan Malaysia membuat kalian membenci Tifanny. Anggap dia sebagai teman kalian juga, bukan musuh. Ibu tidak mau ada permusuhan di sini. Mengerti!”
            “ Sam, u tau ga masa di kelas w ada anak dari Malaysia!”
            “ Ha? Serius u? Yuk kita buli!”
            “ He! Jangan ntar w yang kena marah ma Bu Sinta. U mau baru masuk uda dapet SP. Sumpah w benci banget kalo tau begini ma dia.”
            “ Emang tadinya u suka ama dia? Hahahaha…..”
            “ Iya. Ooops!” Langsung menutup mulut.
            “ Ha? U jatuh cinta pada pandangan pertama? Hahahhaah…Agung, Agung. Emang dia secantik apa sih ampe bisa naklukin pangeran kaya u.”
            “ Tuh orangnya.” Menunjuk kea rah Tifanny.
            Tanpa bisa berkata – kata dan hanya melihat dengan tatapan penuh rasa kagum.
            “ Woi! Kenapa, u suka juga? Emang dia perfect tapi kita harus inget dia dari mana. Setuju!”
            “ Setuju!”
            Hari demi hari aku lewati di kelas yang sama dengannya. Ternyata dia anak yang pandai dan rajin. Dia juga tidak seperti orang di negaranya yang aku benci. Dia baik dengan semua orang, dia juga mencintai hal – hal yang ada di Indonesia. Dan yang membuatku kaget, ternyata dia membenci pemerintahan di negaranya. Katanya, pemerintahan di negaranya selalu membuat konflik dengan Indonesia. Ini membuatnya cukup takut tinggal dan bergaul di Indonesia. Dia juga membuktikan bahwa semua hal yang diclaim oleh negaranya adalah asli milik Indonesia. Sering dia merasa sedih dan tidak enak hati dengan orang Indonesia yang tidak bisa berbuat banyak saat negaranya mengambil sedikit demi sedikit dari Indonesia. Rasanya ia ingin menentang apa yang dilakukan negaranya. Tapi dia tidak bisa, itu Negara tempat dia dilahirkan dan dibesarkan selama 17 tahun. Karena sudah tahu hal ini, maka aku mulai mau membuka diriku untuk ngobrol dengannya. Tapi aku tetap akan berusaha menutup hatiku untuknya. Karena walau bagaimana pun dia tetap musuhku.
            “ Fan, gimana tugas Bu Sinta, u uda selesai?”
            “ Lumayan, w tinggal ngirim email ke dia. Oh iya, Gung w mo ngomong serius ke u boleh?”
            “ Ha? Serius? Aaaaa…apa? Boleh ko, boleh hehehee…”
            “ W mo minta maaf, w tau u kesel banget ma negara w dan w takut u jadi ga nyama di kelas karna ada w. W ga mau nilai u kurang baik karna kehadiran w di kelas yang bikin u kesel tia hari dan u jadi ga konsen ama pelajaran.”
            “ Gak apa – apa ko. W jadi yang harusnya minta maaf ke u kalo u uda jadi susah begini gara – gara sikap kekanak – kanakan w selama ini.”
Mendengar perkataan perkataannya kemarin, hatiku semakin luluh dan semakin tidak terkendali. Seolah perasaan suka yang aku kandangin di hatiku berontak dan ingin keluar karena perasaan itu sepertinya telah tumbuh besar dari hari ke hari. Ya Tuhan bagaimana ini? Kenapa ini terjadi? Aku harus bagaimana? Setiap hari aku merenung, memikirkan, sambil terus menjalani hari – hari dengannya. Yang membuatku semakin akrab dengannya, sampai akhirnya kami tahu keluarga dan kehidupan pribadi kami masing – masing. Dan akhirnya aku sadar bahwa aku benar – benar mencintainya.
            Setelah 6 bulan berkenalan akhirnya aku memutuskan untuk mengakui perasaanku padanya. Aku sadar bahwa aku salah sudah membencinya. Aku harap dia mau memaafkanku dan menerima cintaku.
            “ Hai, Fan w mo ngomong penting ama u boleh?”
            “ Boleh mo ngomong apa?”
            “ U dengerin w dulu ampe selesai tanpa komentar y, nanti w pasti kasih kesempatan u bicara. Sebenernya dari awal w ketemu ama u, w udah suka ama u. U satu – satunya cewek yang gak agresif pas ketemu w. W ngerti mungkin u belum tau siapa w. Tapi setelah kita berteman sekian lama dan u uda tau siapa w, u tetap santun. U gak pernah mandang orang dari luar. U bener – bener beda ama orang – orang di negara u. Dan w minta maaf kalo w uda benci banget ma negara u. W sadar ga semua orang jelek di negara u. Dan w janji w akan buang jauh – jauh perasaan itu. Sekarang w mo tanya ke u, u mau ga jadi pacar w?”
            “ Gak apa ko, w sadar mungkin beberapa orang di negara w emang buat warga negara u kesal dan w memaklumi itu karna itu sudah sepantasnya u miliki. Kalo w jadi u, w juga pasti kesel. Kalo soal itu, w harus izin ke orang tua w dulu. Mereka harus tau siap yang jadi pacar w. W harap u mau ketemu mereka dulu. Kalo mereka setuju, ehm…w mau ko jadi pacar u.”
            Dengan rasa senang aku ikut ke rumah Tifanny untuk makan malam dan berkenalan. Kami berbincang – bincang dengan nyaman tanpa adanya rasa canggung perbedaan kewarganegaraan. Mereka tidak pernah mempermasalahkan konflik antarnegara kami. Malah mereka yang merasa tidak enak karena ulah warga negaranya. Sungguh aku menyesal memiliki perasaan seperti itu dulu. Ternyata Tuhan benar – benar menunjukan bahwa aku salah besar menilai orang, dan aku harus menebusnya.
Setelah izin dari orang tua Tifanny aku dapatkan kita pun memulai hubungan kami sebagai sepasang kekasih. Sekarang giliran orang tuaku. Tapi, ayahku tidak seperti mereka. Ayahku sepertiku dulu yang menganggap orang dari Negara tetangga itu musuh yang menyebalkan. Tapi aku tetap optimis, aku bisa merubah karakterku dengan usaha sendiri, aku pasti bisa mengubah pemikiran ayahku yang lebih dewasa.
“ Ma, Pa besok aku mau bawa Tifanny ke sini buat makan malam y.”
            “ Silahkan papa tidak melarang. Ternyata kamu sudah dewasa y hahahaha…”
            “ Tapi Pa, Ma aku mau kasih tau ke kalian kalo Tifanny itu asli orang Malaysia. Dia pindah dan menetap di sini karna …….”
“ Apa? Tidak papa tidak setuju kamu bergaul dengan dia. Kamu tidak ingat apa yang mereka perbuat pada kita! Pokoknya papa tidak suka dengan dia!” Langsung meninggalkan ruang makan.
“ Pa, tunggu….! Ma, mama bisa kan bantu aku? Mama setuju kan ama pilihanku selama itu baik buat aku?”
“ Sayang, mama tidak seperti ayah kamu. Kamu tenang aja. Besok tetap bawa dia untuk makan malam di sini. Mama akan masak yang special buat gadis kamu.”
“ Tapi papa?”
“ Kamu tenang aja, jika sikap papa kamu buruk, mama yang akan kendalikan dan mama yang akan jelaskan ke Fanny jika kamu gak bisa.”
            “ Makasih banyak y ma.”
Di kampus sebelum mengundangnya makan malam di rumahku, aku menjelaskan keadaan papaku ke Fanny. Ternyata memang dia adalah oang baik dan aku tidak salah memilihnya, dia mengerti dan tetap mau makan malam di rumahku. Aku hanya bisa berharap dia bisa meluluhkan hati papaku.
“ Slamat datang silahkan masuk. Saya ibunya Agung.”
“ Saya Tifanny, senang berkenalan tante.”
“ Pa, kenalin ini Tifanny pacarnya Agung. Silahkan duduk, Fan!”
“ Apa kabr om? Makasih tante.”
“ Agung papa mo jelasin sama kamu. Sebenarnya papa dan mama sudah menjodohkan kamu dengan Casey. Dia anak teman baik papa. Katanya dia satu kampus dengan kamu. Apa itu benar?”
“ Apa? Papa apa – apaan sih main jodoh – jodohin aku. Aku kenal siapa Casey dan aku ga akan pernah mau sama dia. Maaf pa kalo aku lancing.”
            “ Jangan kurang ajar kamu! Asal kamu tau, papa juga tidak akan setuju kamu sama dia, NGERTI!”
Di kampus aku berusaha menjelaskan kejadian semalam agar Fanny tidak marah padaku. “ Fan, soal yang semalem….”
“ Denger Gung, aku sama sekali ga marah ama kamu dan orang tuamu. Tapi aku ga mau hubungan kamu dan ayah kamu rusak kaya gini gara – gara aku. Aku ga mau jadi penyebab hancurnya kluarga kamu. Sebenarnya aku berat buat ngomong ini tapi ini lebih baik buat hubungan kita ke depan. Kita putus aja y?”
“ Apa? Jangan, aku ga mo. Denger, aku bisa atasin masalah ini. Kamu ga usah ikut campur dulu. Aku akan beresin dan buat papaku nerima kamu. Pokoknya aku ga mau kita putus! Please jangan putusin aku. Kasih aku waktu buat selesain masalah ini. Kamu mau kan?”
“ Tapi……”
“ Please Fan, aku ga mau putus!”
“ Tapi kalo ga bisa, aku cuma ga mo hubungan kamu dan papa kamu tegang terus kaya gini. Dan satu – satunya cara kita harus putus y.”
“ Aku pasti bisa.”
Sambil meninggalkan Agung, aku kembali ke kelas dengan menahan tangis. Tapi di toilet aku tidak bisa membendung tangisku. Aku menangis tanpa suara. Mungkin ini tangisanku yang paling sedih selama hidupku. Rasanya benar – benar sakit mengatakan itu semua. Ya Tuhan, dia pacar pertamaku. Cowok pertama yang begitu berarti untukku. Kenapa jika dia bukan milikku tapi Kau berikan dia padaku?
Selama berhari – hari hubungan kami masih dikatakan backstreet sejak kejadian malam itu. Setiap hari aku berfikir cara untuk mengatakan semua ini pada papaku. Tapi aku malah mendapat kabar buruk. Bahwa di hari ulang tahunku, papaku dan orang tua Casey memutuskan untuk menjodohkan aku di depan para undangan. Aku tidak bisa menyembunyikan ini dari Fanny, walupun aku tahu dia pasti akan sakit hati. Tapi dia tahu bahwa aku hanya mencintai dia.
Di hari ulang tahunku, aku terpaksa tidak mengundang Fanny. Ternnyata benar, ayahku menjodohkan aku malam itu dan kami pun bertunangan. Dengan sedih aku menuruti semua perkataan ayahku. Karena di satu sisi aku tidak mau membuat orang tuaku malu dengan para undangan yang hadir. Para undangan bukan orang biasa, tapi para orang terhormat dari perusahaan ayahku. Lalu akhirnya aku memberanikan diri bicara.
“ Slamat malam para undangan sekalian mohon perhatiannya sebentar. Saya mau bertanya apakah ada dari kalian yang membenci warga Malaysia?”
Ternyata Tuhan membantuku malam itu. Banyak para undangan menjawabku.
“ Tidak. Walaupun sebagian dari mereka sering berbuat konflik dengan kita.”
“ Tidak. Karena tidak semua orang Malaysia itu buruk.”
            “ Tidak. Karena mereka tetap menerima kita dengan baik saat kita ke sana.”
            “ Tidak. Karena mereka menerima anak saya dan berteman dengan baik tanpa ada masalah kewarganegaraan.”
“ Trima kasih banyak atas jawabannya. Saya akan bertanya sekali lagi. Apakah pantas jika kita membenci orang Malaysia yang tinggal di sini karena kesalahan yang bukan dia perbuat?”
“ Sama sekali tidak! Siapa orangnya?”
            “ Apa hak orang itu?”
            “ Dia sungguh membuat warga Indonesia malu dengan perbuatannya.” Para undangan menggerutu dan membuat gaduh dengan teriakan – teriakan.”
“ Baik. Cukup. Terima kasih. Maaf jika saya membuat papa malu malam ini. Tapi saya benar – benar sudah tidak tahan dengan sikap papa. Kalau papa hanya melarang saya berteman dengan Fanny, saya terima. Tapi kalau papa sudah mengambil hak saya untuk memilih yang terbaik untuk saya dengan perjodohan seperti ini, saya tidak bisa terima. Saya juga minta maaf kepada Tuan dan Nyonya Clow, kalau saya tidak bisa bertunangan dengan Casey. Karena saya mencintai wanita lain.”
Di luar dugaanku, para undangan seolah mendukungku dengan menggerutu menyinggung papa. Mereka sepertinya juga tidak suka dengan perbuatan papaku. Dan mamaku juga setuju denganku, dengan tersenyum bahagia. Yang membuat aku semakin bahagia lagi, ternyata walaupun Casey marah dengan perbuatanku, tapi kedua orang tuanya mengerti maksudku.
“ Agung, om dan tante benar – benar minta maaf. Kalau kami tahu ini memaksakan kamu, kami pasti akan menolaknya dari awal. Kami memang sangat ingin kamu menjadi pendamping Casey, tapi jika tanpa cinta kami juga tidak bisa memberikan Casey. Kami hanya berharap ada orang yang benar – benar tulus mencintai Casey. Dan untuk Pak Pranata, kami harap bapak sadar apa yang telah bapak perbuat. Kami pemisi.”
“ Terima kasih banyak atas pengertian kalian semua, saya benar – benar minta maaf atas ketidaknyamanan ini.”
“ Iya, kami juga berharap tidak ada orang tua seperti Pak Pranata.”
Para undangan pulang dengan kesal atas perilaku papa. Tapi itu yang pantas dia dapatkan. Dan untukku, semoga besok lebih baik dari mala mini. Aku benar – benar bersyukur Tuhan membantuku.
Besoknya di kampus aku memberitahu semua yang terjadi kemarin malam kepada Tifanny. Dia benar – benar cewek terbaik yang pernah aku temui. Dia malah merasa tidak enak pada papaku yang malu di depan semua rekan bisnisnya. Tiba – tiba aku mendapat telepon dari ibuku. Dia mengatakan bahwa ibu mengundang Fanny makan siang. Karena ayah mau bicara dengannya. Di satu sisi aku penasaran, apa papa masih akan membenci Fanny atau lebih parah karena kemarin dia sudah malu. Di sisi lain aku berfikir apa papa sudah sadar bahwa dia melakukan kesalahan?
Saat makan siang, aku sungguh tegang. Aku takut Fanny sedih lagi mendengar kemarahan papa.
“ Fanny, om mau minta maaf. Om sadar kalo om sudah melakukan kesalahan besar. Om hanya mengikuti kemauan hati om tanpa memikirkan orang lain termasuk anak om sendiri. Om harap kamu mau memaafkan om.”
“ Iya om tentu. Trima kasih om dan tante sudah menerima saya dengan baik.”
“ Kalau begitu bagaimana jika nanti malam kita makan malam bersama di restoran dengan orang tuamu. Karena saat pesta ulang tahun Agung kemarin kalian tidak om undang.”
            “ Trima kasih om atas undangannya. Orang tua saya pasti sangat senang.”
Sejak makan malam itu,hubungan kami pun berjalan baik. Setelah lulus kuliah, kami pun memutuskan bertunangan dan pergi ke Malaysia untuk bekerja. Kami tidak mempermasalahkan perbedaan warga negara kami dalam hubungan kami kelak. Sehingga kami bisa hidup bahagia selamanya.

Cerpen


Aturan
Oleh Silvanus Alvin

Aturan,  tidak lain dan tidak bukan, bertujuan untuk menciptakan ketertiban. Bila mereka, para petinggi dan yang dituakan melahirkan aturan itu sendiri tapi tidak mematuhi sekaligus menjalankannya, bagaimana mungkin manusia-manusia lain juga mau mematuhi sekaligus menjalankannya. Niscaya, ketertiban itu, tidak lain dan tidak bukan, hanya omong kosong belaka.


David keluar dari sebuah ruangan, berjalanlah ia menuju tembok di salah satu sudut gedung megah itu. Di sudut itu, tertempel beberapa kertas-kertas. Dengan muka geram dan penuh emosi, pemuda yang memakai kaos berwarna hitam itu merobeknya. Di seberang tembok di mana ia berdiri, terdapat kertas serupa yang tertempel pula di tembok.

David berlari ke arah tembok tersebut. Terlihat garis urat nadi di tangannya, yang menunjukkan betapa emosi dirinya. Hal yang sama pun dilakukan, ia menarik kertas yang tertempel dan merobek-robeknya tidak beraturan. Jelas, apa yang dilakukannya menjadi pusat perhatian orang-orang yang berjalan di sekitarnya.

Pemuda yang sedari kecil diajarkan dengan baik oleh orangtuanya untuk mentaati aturan-aturan yang ada, kini seperti orang lepas kendali. Mungkin terjadi korsleting di otaknya akibat tidak mampu menerima kenyataan bahwa banyak aturan yang dilanggar oleh orang-orang di gedung mewah itu.

“Persetan dengan semua ini! Untuk apa ada aturan kalau tidak dijalankan,” teriaknya, tanpa memerdulikan orang di sekitarnya yang sedang melihatnya dengan tatapan aneh.

“Seeeeetan!” raungnya.

Aksi yang dilakukan David ini membuat satpam bergegas untuk mengambil tindakan. Kira-kira terdapat perbedaan jarak sejauh 50 meter dari tempat satpam berdiri menuju David, pemuda yang dikira orang gila karena merobek kertas dan berteriak tiba-tiba.

Sejurus kemudian, terjadi adegan kejar-kejaran seperti di film action. Satpam itu langsung berlari mengejar David. David pun dengan reflek alaminya berlari pula, berusaha tidak tertangkap. Kala mengejar David, satpam menggunakan walkie-talkie untuk memanggil beberapa satpam lain untuk membantunya menangkap David. Pemuda yang dianggap pengganggu di gedung kura-kura itu.

***

Ini bukan kali pertama David masuk ke gedung mewah yang berbentuk seperti kura-kura itu. Di tempat itulah, para orang-orang pintar dan yang dituakan berkumpul, untuk membuat aturan. Pemuda dengan kulit sawo matang itu berada di salah satu ruang sidang. Di ruang sidang itu, David berada di baris yang paling belakang dan mendaratkan pantatnya di bangku pojok kanan.

Tidak ada yang memperhatikan dirinya, karena selama tiga jam, jalannya persidangan penentu aturan itu, tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. David hanya diam dan mendengarkan.

Sebuah kalimat yang juga diikuti dengan ketukan palu dari pemimpin sidang pun menutup jalannya persidangan.

“Tidak ada pertanyaan lagi kan? Baiklah, semua sepakat ya? Dengan ini sidang saya tutup. Dok-dok.”

Setelah keluar dari ruang sidang itu, Johan dari kejauhan datang menghampiri David. Tepukan hangat di pundak kanan David, membuatnya menoleh ke arah datangnya tepukan itu. Tak perlu waktu yang cukup lama, Johan langsung memulai topik pembicaraan. Topik yang diajukan pun tidak jauh berbeda dengan yang dibahas di sidang tadi.

Meski sudah keluar dari ruang sidang, tidak ada yang berubah dari apa yang dilakukan David. Ia masih terdiam dan mendengarkan kata-kata yang diucapkan Johan dengan seksama. Johan adalah pemimpin sidang tadi. Dia memiliki jabatan yang sangat kuat, tidak hanya itu, ia juga punya koneksi yang sangat kuat dengan orang nomor satu alias presiden. Apapun yang keputusan sidang yang diketok palu oleh Johan pasti akan disetujui pula presiden.

Sebagai orang yang memiliki jabatan tinggi, Johan berpakaian rapi dan penuh gaya. Jas hitam, kemeja putih, dasi warna biru, celana hitam, jam tangan yang harganya puluhan juta, dan sepatu hitam mengkilap. Sangat jauh berbeda dengan David yang memakai kemeja lengan panjang hitam, celana panjang hitam yang terlihat kusam, dan sepatu butut tapi masih layak pakai.

Hari ini, Johan bersama dengan orang-orang pintar dan yang dituakan membuat peraturan yang cukup sederhana, yaitu jangan merokok di dalam gedung atau ruangan ber-AC. Aturan itu disambut baik oleh David, hal itu terlihat dari senyumannya. David memang bukan orang yang banyak bicara. Baginya, ekspresi wajah dapat menggantikan rangkaian kata-kata. Bila kita setuju atau suka dengan seseorang, cukup menjawab dengan senyuman, itu sudah lebih dari cukup.

***

Di ruang kantornya, Johan merasa puas. Aturan yang bulan lalu diketuk palu olehnya, disetujui oleh presiden. Mulai hari ini, aturan itu berlaku. Tidak hanya itu, ia merasa sudah satu langkah berjuang untuk melawan polusi udara yang ditimbulkan oleh asap rokok. Merasa bangga atas yang sudah dilakukannya, Johan merogoh saku jasnya. Kemudian ia mengeluarkan pematik api dan satu batang cerutu.

Menurutnnya, adalah hal yang pantas bila ia melakukan selebrasi kecil dengang menghisap cerutu. Cerutu berwarna coklat itupun dipotongnya lalu dibakarnya dengan api. Dihisapnya perlahan, dinikmatinya asap cerutu di mulutnya layaknya taipan, dan dihembuskannya perlahan dengan gaya sedikit sombong.

Selebrasi kecil itu diakhiri dengan keinginan untuk menlakukan sidak di beberapa area gedung kura-kura, tempat ia berkantor. Di taruhnya cerutu di asbak.

***

Berjalan-jalanlah Johan, ditemani ajudan setianya. Sudah 15 menit, ia berjalan, dan tidak ditemukan satu pun orang yang merokok. Kembalilah rasa puas Johan. Hal ini membuatnya berjalan sambil membusungkan dada, seakan mengisyaratkan kalau dirinya orang penting yang membawa perubahan revolusioner.

Tapi beberapa langkah kemudian, ia memergoki salah seorang bawahannya merokok di bawah tangga darurat. Malang si bawahan, pintu darurat tidak ditutup dengan rapat sehingga ia tertangkap tangan oleh bosnya, Johan, sedang merokok. Lebih parahnya lagi, saat ketahuan merokok, si bawahan sedang menghembuskan asap rokok. Asap yang keluar dari mulutnya membuat dirinya tidak bisa beralasan apa-apa lagi.

Melihat hal itu, Johan menindak tegas bawahannya. Johan memecat bawahannya itu. Sebelum bawahannya meninggalkan ruangan, bawahannya sempat ditanya perihal tahu tidaknya aturan baru yang berlaku.

"Hei... Kau kenapa merokok? Padahal ada aturan baru yang melarang itu. Kau tahu tidak sih aturannya?" tanya Johan dengan nada membentak.

"Tidak, Pak..." jawab si bawahan sambil tertunduk, pasrah dengan keadaan.

Mendengar bahwa bawahannya sendiri tidak tahu akan aturan baru yang ia ciptakan, dengan segera ia memanggil ajudannya. 

"Tolong kau atur supaya di setiap sudut ruangan, bahkan setiap tembok di gedung ini ditempel aturan baru. Cepat laksanakan! Kalau sampai ada lagi yang tidak patuh, akan kupecat, " perintahnya.

Ajudannya pun mengangguk dan dengan cepat ia melaksanakan apa yang ditugaskan. 

***

Esok hari, Johan sudah mendapati setiap ruangan dan setiap tembok di gedung tertempel aturan baru, yang bertuliskan 'Dilarang merokok dalam ruangan'. Dia pun lantas berkeliling, mencari-cari apakah masih ada bawahannya yang merokok sembunyi-sembunyi. 

Namun, Johan tidak mendapati ada yang yang melanggar. Ia pun kembali puas hati. Seperti biasa, ia merasa perlu melakukan selebrasi kecil. Diambilnya cerutu yang kemarin tidak dihabiskannya dan dinyalakan cerutu itu dengan api. Dihisapnya perlahan, dimainkan asapnya di mulut, kemudian dihembuskan perlahan. 

Tiba-tiba saja, David masuk ke ruang kantornya tanpa mengetuk pintu. Saat ia membuka pintu, David melihat Johan memegang cerutu di tangan kanannya. David yang tidak suka bicara, mengernyitkan dahinya. Seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kedatangannya untuk mempertanyakan mengapa temannya harus dipecat karena merokok, dikejutkan dengan apa yang dilihatnya. 

"Jo, kau merokok di ruanganmu sendiri? Kau gila... Padahal kau sendiri yang membuat aturan tidak boleh merokok," ujarnya dengan nada setengah tidak percaya atas apa yang dilihatnya.

Johan pun menjawab dengan terbata-bata.

"Ini... ini... ini bukan rokok, ini cerutu. Beda cerutu dengan rokok."

"Aku tidak peduli. Di mataku, kau sudah merokok di dalam ruangan. Kau melanggar aturan yang kau ciptakan sendiri. Aku mau kau juga menerapkan hukuman yang sama bagi orang yang melanggar hal serupa. Aku mau kau juga dipecat,"

"Aku petinggi. Aku punya jabatan di sini. Bagaimana bisa aku memecat diriku sendiri? Sudahlah... anggap hal ini tidak terjadi,"

David pun menggelengkan kepalanya. Saat menggelengkan itu, dia melihat kertas yang berisi aturan dilarang merokok. Geram dengan tindakan yang dilakukan Johan, ia pun merobek kertas itu tanpa mengucap satu kata pun. Setelah merobek kertas aturan itu, dia menatap tajam Johan. Seakan tatapan itu ingin berkata, "Kau merokok padahal kertas aturan dilarang merokok ada di depan matamu. Gila kau."

***

Dan itulah awal David merobek aturan yang tertuang di dalam kertas dan tertempel di tembok gedung kura-kura.

Dan itulah awal David merobek aturan yang tertuang di dalam kertas dan tertempel di tembok gedung kura-kura.

Monday, September 17, 2012

Yogyakarta di Hati



Malam bersanding malu pada biasan mentari pagi ini
Lelah terselip dalam jemari lembut yang menggelitik katup mata
Kuberkaca pada embun yang menghangatkan senyum dan mengistimewakan hati
Berjalan seirama tanpa rasa sungkan dan penuh tawa

Indah... Terlihat lekuk panoramamu yang hijau dan asri
Syahdu... Terdengar sepimu dalam bahagianya ruang dan waktu
Tergoda harum tanahmu yang melambai
Bukan karena mendungnya mega...
Bukan... Bukan karena ilu yang meniti...
Melainkan secercah kerinduan yang berlabuh di ujung hatimu...

Pantulan cahayamu membuka sebuah perjalanan klasik bersama teman sehati dan sejiwa,
Kutangkap kumpulan rona cahaya yang bias akan memori
Tersimpan setiap detiknya dalam lebar diafragma
Menilik wajah Keraton untuk pertama dari balik lensa
Kucerna sejarahmu sedari dulu hingga masa kini
Melalui alunan musik tradisional bersama jajaran potret yang mulai keriput

Menginjakkan kaki di tanah Malioboro untuk mengobati hati yang penasaran
Kusambut suguhan khas para pekerja yang bergulat dengan waktu,
saling menjajakan dagangan dan berebut pelanggan
Menapakki tiap jalan hingga kujejakkan kaki di tanah Tugu dan Taman Sari
sajian kuno berselera memanjakan mata ini
Kubercengkerama dengan senja yang mengalun pada sandiwara malam
Penat pun usang tersanding oleh keramahan lampu kota
Damai... dan rupawan....

Esok pun terpana oleh kokohnya Prambanan,
potongan-potongan jiwa yang kuat bak batu-batu megah mengilap
Hiasan langit dengan senyum dan tawa membahana dari sudut bibir
Lalu, mendinginnya hati dalam selimut Kaliurang,
terlumat indah dan senyap sang pesona
Dinginmu tak mampu meluluhlantakkan hati yang terjepit rasa candu agung-Mu 
Syukur...

Hingga pagi pun menyapa hati yang ingin terus berkelana
Ditemani rembulan dan hamparan bintang yang mengawang
Apa daya, waktu pun membisik paksa
Dan kubisikkan kata perpisahan pada kota yang penuh kenang
Sampai Jumpa Yogyakarta….”
 
 
Tangerang, 24 Maret 2012

Sintia Astarina & Sekar Rarasati