oleh : Gloria Samantha (Jurnalistik 2008)
“It plays upon perplexity; it cultivates confusion; it poses as information and knowledge; it generates belief systems and tenacious convictions; it prefers credibility and belief states to knowledge; it supplies false assurances and certainties; it skews perceptions; it systematically disregards superior epistemic values such as truth, understanding and knowledge; it discourages reasoning and a healthy respect for rigor, evidence and procedural safeguards; it promotes the easy acceptance of unexamined belief and supine ignorance”
– a Canadian scholar Stanley Cunningham
Kutipan di atas sekadar merupakan gambaran yang saya rasa tepat untuk mendistribusikan peranan serta pengaruh propaganda media dewasa ini. Teori propaganda yang muncul di Amerika Serikat disebabkan adanya kepentingan dari sejumlah pihak dalam bidang politik. Tepatnya, propaganda digunakan sebagai alat untuk mengomunikasikan pesan pada khalayak: untuk didengar, untuk menciptakan citra, untuk menangguk simpati, dan sebagainya.
Propaganda modern pertama kali berpenetrasi masuk ke Amerika Serikat pada masa Perang Dunia I. Perang menerapkan teknik propaganda untuk menghimpun sejumlah besar tentara Angkatan Darat serta menjaga keyakinan para warga sipil selama tahun-tahun sulit itu. Tak pernah sebelumnya sedemikian banyak orang dapat dimobilisasi untuk pergi berperang, terlebih dalam suatu periode panjang.
Setelah Perang Dunia I berkahir, peperangan di dunia propaganda berlanjut. Bahkan propaganda ini mulai menjalar ke Eropa, menjadi sarana bagi new political movements untuk menyebarkan dan melebarkan pengaruhnya.
Pada mulanya beberapa ahli bersikap sangat optimis masyarakat Amerika dapat bertahan dari tekanan propaganda macam apa pun tetapi propaganda justru memperkosa seluruh bagian sistem politik demokratisasi sampai yang terdasar. Propaganda dengan babas melaju; membohongi dan mengelabui demi mempersuasi masyarakat demi mencapai tujuannya.
Pakar politik Harold Lasswell berteori kekuatan propaganda berhulu pada kerentanan kondisi pemikiran orang pada umumnya.
Menurut Lasswell, depresi ekonomi dan perslah-perslah politik telah menjadi faktor yang memungkinkan seseorang kehilangan nalar kritisnya sehingga dengan mudah menerima segala bentuk propaganda, bahkan yang paling banal. Konfrontasi sehari-hari dalam kehidupan personal mereka rupanya cukup memukul, juga melelahkan; membuat orang cenderung melihat propaganda sebagai hal yang menenangkan dan dapat mengatasi tantangan perikehidupan mereka. Kenyataan miris ini dapat dikatakan fenomena yang terlihat sekali di negeri kita.
Sementara Walter Lippmann, seorang kolumnis bagi surat kabar New York Times, mengemukakan teori bertajuk ‘Public Opinion Formation’. Di sini Lippmann mempertanyakan kelangsungan hidup demokrasi. Demokrasi akan membawa perubahan besar pada peranan media terhadap arus informasi. Lippmann meragukan kesanggupan masyarakat untuk melek media (media literacy); artinya mampu memilah, tidak menelan mentah apa yang disodorkan oleh media.
Bahkan apabila seorang jurnalis telah melaksanakan tanggung jawab dengan sungguh sekalipun, masih ada resiko orang tidak mampu menangkap apa yang disampaikan, karena rata-rata orang lebih mendahulukan subjektivitasnya saat melihat, mendengar, atau membaca suatu persoalan. Mengenai hal ini, Lippmann setuju dengan Lasswell. Diutarakan Lippmann bahwa setiap individu memiliki bayangan, asumsi dalam benak masing-masing –yang berbeda dengan kenyataan di dunia luar—tetapi terkadang mereka sulit melepaskan bayangan itu. Orang akan terpola mengikuti ekspektasi mereka, ketimbang menerima realitas.
Pada era freedom of press sekarang ini perlu adanya semacam aparat perantara untuk memberi publik proteksi dari propaganda serta kontrol media.
Namun tidak dengan memberlakukan sensor media. Solusi terbaik ialah menempatkan pengawasan pengumpulan dan penyebaran informasi di tangan teknokrasi yang terpercaya, misalnya kalangan ahli/akademisi. Dengan demikian para ahli tersebut dapat mengurutkan fakta dan membuat keputusan dengan analisis metode ilmiah yang sesuai.
Dalam pandangan filsuf John Dewey, otoritas menyelesaikan masalah propanda tidak terletak pada lembaga / teknokrasi maupun metode-metode ilmiah basis. Sebaliknya, lembaga semacam itu tidak diperlukan karena masyarakat dapat belajar mempertahankan dirinya sendiri.
Sepanjang hayatnya, Dewey memang tak kunjung letih menyatakan sikap dan argumennya, yang beranggapan bahwa edukasi masyarakat adalah cara terefektif dalam upaya menentang totalitarianisme yang diam-diam mulai menyelusup di dalam demokrasi.
Dalam teori propaganda kontemporer, yang pokok persoalan adalah, wacana publik telah dibentuk, dibangun, dikembangkan, dibatasi oleh para pemegang kekuasaan; dalam hal ini bisa berarti pemerintah, pemegang modal, atau elit penguasa yang lain. Semata-mata untuk memenuhi kepentingan pribadi. Kita tidak dapat terkecoh dengan nihilnya kontrol aversif.
Sebab tidak berarti informasi yang disalurkan terbebas dari fungsi kontrol. Secara ringkas, media dikatakan hanya sebagai sebuah ‘corong’ dari pemegang kewenangan tertentu, dan kehilangan identitasnya, independensinya.
Kian hari, komunikasi nampaknya tidak sekadar menghadirkan kenyataan tetapi justru menentukan kenyataan, memperlihatkan kekuatan dan daya mempengaruhi yang dimilikinya. Sudah menjadi nyata, misalkan, bahwa dalam situasi-situasi tertentu media tidak dipakai untuk maksud-maksud yang tepat untuk menyebarkan informasi, tetapi justru untuk ’menciptakan’ peristiwa.
No comments:
Post a Comment