Tuesday, December 14, 2010

Launching I'M KOM

Halo teman-teman UMN dari seluruh fakultas dan angkatan!
Ayo datang dan hadiri Acoustic Corner di Lobby UMN pada hari Kamis, 16 Desember 2010 pukul 16.00 - selesai, yang dilanjutkan dengan Nonton Bareng Semifinal Piala AFF 2010 antara Filipina vs Indonesia pukul 18.30-selesai di Function Hall. Acara ini berlangsung dalam rangka Launching HMJ Ilkom, I'M KOM.

For Your Info: Especially for You Girls!

Bagaimana Cara Mengetahui Lolos-Tidaknya Tim ke Final

As you know, Indonesia akan bertanding 2 leg (home-away/kandang-tandang) melawan Filipina di semifinal Piala AFF 2010. Kalau dua kali main, bagaimana kita bisa tahu siapa yang akan masuk final? Beginilah cara menghitungnya.

 Ingat:
 Menang              = 3 poin
 Seri                    = 1 poin
 Kalah                 = 0 poin

Contoh:
1.       Leg 1 (home)
 Filipina 1 vs 0 Indonesia
 Maka, Filipina = 3 poin & Indonesia = 0 poin

2.       Leg 2 (away)
 Indonesia 2 vs 0 Filipina
 Maka, Indonesia = 3 poin, Filipina = 0 poin
 Lho, poinnya jadi sama 3-3, siapa yang masuk final dong? Ayo kita lihat agregat (selisih gol) nya.

Hasil Pertandingan

Indonesia
Filipina
Leg 1
0
1
Leg 2
2
0
Agregat
2
1


Jreng-jreng! Indonesia yang berhak maju ke final karena selisih gol lebih banyak dari Filipina. (Amiinn)
Selamat menikmati pertandingan girls!
INDONESIA! Prok Prok, Prok Prok Prok!

Risa Rahayu Kosasih 
(Jurnalistik 09)

KETIKA

Ketika itu aku sendiri
Ketika itu aku berdiri
Ketika itu aku menatap
Ketika itu aku diam

Hujan mengguyur belahan bumi
Menghujam kaca besar yang bergetar
Petir nan dashyat menusuk perut bumi
Membuat bumi merintih perih

Aku menatap bayangku pada kaca itu
Hanya ada kekosongan
Setitik kerinduan menghampiriku
Mendatangkan khayal ke dalam anganku

Selintas gambar perjalanan kita terputar
Semua berawal ketika suaramu memecah kebekuan kelas baru
Tak terasa tiap tawamu meremukan tiap keheningan di setiap diamku
Wajah manismu pun terus mewarnai hari hari ku

Sekarang aku kehilangan semuanya
Suaramu, tawamu, wajah manismu
10 bulan sudah kau pergi meninggalkanku
Diam menatap jalan hidup yang tak ada arah

Ketika itu hujan
Ketika itu aku rindu
Ketika itu kau tak ada
Ketika itu aku tahu kau bahagia di sana

Selamat jalan…
SAHABATKU

Clara Judijanto (Ilkom ’10)
Inspired by the 'magical' rain and the story of Lysia and Nikita 

Sendiri Dalam Keramaian

Oleh: Clarisa Mutriafica – Jurnalistik 2009

Mungkin sendiri itu indah.
Aku senang menyendiri,
Seperti saat ini.
Hanya ada aku dan komputer kecil ini.
Mendengarkan musik, sesekali mendengar tawa liar mahasiswa di sekelilingku.
Terkadang mendengar langkah kaki mereka yang berkeliaran entah ingin kemana,
Sesekali menyapa siapapun yang menyapaku dengan senyuman kecil.

Beberapa di antara mereka sama sepertiku,
Menunggu waktu untuk memulai sesuatu.
Bedanya,  mereka tidak sendiri.
Ada teman yang menjadi tempat canda tawa mereka.
Ada kekasih tempat mereka saling bermanja ria.
Mungkin hanya sekali petugas menghampiri mereka yang terlalu bising dan mengganggu.

Setelahnya? Jangan ditanya.

Aku lihat mereka senang.
Mereka menebar tawa dan teriakan kegembiraan.
Entah apa yang mereka bicarakan dan mereka tertawakan.
Tapi yang jelas, aku lebih menikmati kesendirianku.
Lebih memilih untuk diam daripada bersuara.
Lebih memilih untuk bungkam daripada berteriak.
Lebih memilih sendirian daripada ditemani teman.
Ini waktuku.
Ini yang aku inginkan.
Aku merasa nyaman seperti ini.
Tidak ada yang mengganggu ataupun mengajakku berbicara.
Aku bisa berkhayal banyak hal.
Memikirkan apapun yang aku inginkan.
Menulis apapun pada komputer kecilku ini.
Mendengarkan apa yang ingin aku dengar.
Tak peduli dengan gerakan-gerakan setiap mahasiswa yang mengundang perhatian.
Siapa yang peduli? 
Hanya mereka dengan teman-temannya.

Aku melihat perempuan tertawa lepas tanpa perduli.
Itu aku yang kemarin, tadi pagi.
Sekarang aku tidak seperti dia.
Setidaknya untuk saat ini.

Bukan penyendiri.
Bukan pemalu.
Bukan pemalas.
Aku hanya ingin menikmati hidupku.
Sisi lain dari diriku yang lebih banyak diam dari biasanya.
Aku diam saja.
Dan berpikir bahwa lebih nikmat seperti ini.
Mungkin.

Bagaimana dengan kalian?

Aku Suka Hujan, dan Ingin Ada Dalam Hujan

by Inasshabihah Syalala (Ilmu Komunikasi 2010)

Apakah kau melihatku?
Ya, aku perempuan yang berdiri menunduk di tengah hujan deras itu. Ya kau benar, aku mengenakan gaun putih. Ingatkah kau ini gaun yang kau beri dulu saat aku menerima kehadiranmu? Saat kita sepakat untuk bersama?

Gaun putih sederhana, tidak tebal tidak tipis, berayun ke sana ke mari tersapu angin yang bergelut dalam hujan ini. Kain tipis menali di tangan kananku. Kacamataku sudah lepas. Lalu perlahan, lihatlah aku melepas kerudungku.

Hei, kau di sana?
Lihatlah, perlahan kubentangkan kedua tangan. Peluk aku, angin…
Kudongakkan kepalaku sedikit, lalu aku menari. Ya, di bawah hujan. Kulekukkan tubuhku bebas. Kepalaku, tanganku, kakiku, rambutku. Menari lepas. Berdansa bersama irama hujan yang menenangkan.
Lalu perlahan, bibirku menyenandungkan lagu. Dengarkah kau? Tahukah kau lagu apa ini?
Ini senandung bidadari surga yang merindukan sosok pria di hadapannya. Bukan untuk dinikmati, namun untuk diajak berbagi.

Aku mulai melompat kecil. Kini, bisa kau rasakan air-air hujan yang aku injak mengenai mata kakimu. Membuat kakimu ikut basah sekalipun kau di bawah atap teras rumahmu. Aku tersenyum, mulai tertawa lebar, menikmati percikan air di kaki dan wajahku.
Inilah aku, sedang merayumu.
Membuka semuaku di depanmu, dear.
Aku, yang basah kuyup dalam gaun kasih sayangmu. Aku ingin menarikmu lagi. Ingin memberimu lagi. Tak sadarkah kau aku mulai pusing dan limbung? Mulai merasakan kepalaku berat dan kakiku lelah menari?

Kembalilah, dear.
Kau datang terlalu tiba-tiba, memberi gaun juga dengan tiba-tiba, lalu tak lama kau pergi dengan tiba-tiba pula.

Kini kembalilah dear, meskipun perlahan saja. Rengkuh aku lagi, dear..

Wednesday, December 8, 2010

PENGUMUMAN

Saat ini Divisi Jurnalistik sedang mengajukan regulasi divisi yang di dalamnya termasuk regulasi bagi Pers Mahasiswa.
Oleh karena itu, blog Pers Mahasiswa akan vakum untuk sementara waktu, hingga regulasi tersebut disahkan.
Kami tidak menutup kesempatan bagi teman-teman yang ingin mengirimkan karyanya, namun baru akan kami publikasikan setelah adanya regulasi yang sah.

Sekian pengumuman dari kami, Divisi Jurnalistik Himpunan Mahasiswa Jurusan Iilmu Komunikasi.

Keep writing guys!

Salam,

Divisi Jurnalistik HMJ ILKOM

Saturday, December 4, 2010

Mungkin Suara Bang Iwan Lebih Didengar...

Oleh: Bernardo Octo Elbo Brotoseno – Jurnalistik ‘08

Sedikit nostalgia untuk pengkritik dan yang dikritik. Saya sebut nostalgia, karena pasti mereka sudah lebih dulu fasih dengan lagu kritikan yang berjudul ”Bongkar” dari Iwan Fals untuk penguasa Orde Baru dulu. Mungkin aneh bila sekarang, lagu ini malah ditujukan kepada mereka yang duduk di singgasana empuk penuh dengan tumpukan kewenangan.

Demikian juga saya sebut nostalgia bagi para pengkritik, bukan saja karena ini lagu lama. Namun  juga karena ini dapat menggambarkan bahwa bagaimana pada saat itu segala cara diupayakan dan diluncurkan oleh segenap elemen agar transparansi, keadilan dan segala tetek bengeknya yang tidak digubris tersebut dapat diwujudkan. 

Sentilan kecil, di mana kami coba untuk meminjam suara Bang Iwan yang mungkin lebih nyaring sehingga mampu dengan jernih didengar. Karena yang kami dan kita tahu, bahwa kami hanya mampu mengungkapkan keresahan dan harapan. Semoga keresahan dan harapan kami dijawab dengan cinta.... 

BONGKAR – Iwan Fals

Kalau cinta sudah dibuang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperbudak jabatan

 O, o, ya o ... ya o ... ya bongkar
O, o, ya o ... ya o ... ya bongkar

Sabar, sabar, sabar dan tunggu
Itu jawaban yang harus kami terima
Ternyata kita harus turun ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang

Penindasan serta kesewenang-wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan
Hoi hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan

O, o, ya o ... ya o ... ya bongkar
O, o, ya o ... ya o ... ya bongkar

Di jalan kami sandarkan cita-cita
Sebab di rumah tiada lagi yang bisa dipercaya
Orang tua pandanglah kami sebagai manusia
Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta

Suara Lirih (Ketika kebebasan beropini dan mengkritisi mulai dipertanyakan kembali)

“Beneath this mask, there is more than a flesh. Beneath this flesh, there is an idea. And ideas are bulletproof.” – V | from ‘V for Vendetta’ the movie.

Salah satu Hak Asasi Manusia yang paling fundamental adalah Hak untuk berpikir dengan bebas. Setiap manusia boleh memiliki varian opini, baik pro maupun kontra untuk menghasilkan kesimpulan yang objektif dan berimbang pada akhirnya. Lantas apa yang terjadi jika seandainya kebebasan berpikir diintervensi dengan sanksi? Masihkah layak disebut ‘asasi’? Ketika individu dilatih dan ditempa untuk bersikap skeptis dan kritis terhadap segala sesuatunya, sementara suara lirih mereka untuk menyuarakan aspirasi dibungkam semena-mena demi kepentingan salah satu pihak semata, mungkinkah mereka akan diam begitu saja?
Jawabannya adalah tidak. Mengapa?

Karena manusia adalah makhluk petarung dalam artian akan berjuang sepenuhnya demi mempertahankan idealisme berpikir mereka meskipun penuh resiko. Paling tidak untuk yang berprinsip dan berideologi baja, mereka tidak akan manggut-manggut ketika dihadapi oleh sebuah tantangan. Mereka akan melawan dengan segenap daya dan kekuatan.

Namun sebuah opini yang terlampau spekulatif dan subjektif – tanpa diimbangi data-data proporsional yang memadai – akan menghasilkan buah yang berbahaya untuk dikonsumsi penerimanya. Sebagai mahasiswa jurnalistik, rasanya sungguh bodoh jika kita mengabaikan faktor-faktor krusial tersebut. Oleh karena itu, saya yakin akan segala akurasi dan aktualisasi penulisan yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa jurnalistik, terutama di universitas ini.

Sama halnya dengan kritik. Kritik memiliki dua orientasi : konstruktif (membangun) dan destruktif (menjatuhkan). Setiap manusia juga memiliki kebebasan untuk mengkritik. Hanya saja bentuk kritik manakah yang lebih baik? Tentu idealnya adalah bentuk kritik yang pertama karena seutuhnya terbentuk dari tujuan mulia. Terlepas dari kepentingan pribadi, dengan niat hanya untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik. Tidak ada pihak yang dirugikan dalam kritik semacam ini. Hasil akhir dari sebuah kritik konstruktif dikenal dengan istilah win-win solution, di mana tidak ada satupun pihak yang dirugikan dan tercemar reputasinya. Semua menang, semua senang.

Permasalahan timbul ketika ‘subjek yang dikritik’ (selanjutnya akan disebut ‘A’) ternyata tidak memberikan feedback positif, sementara sejumlah upaya penyaluran kritik telah disampaikan. Proses demi proses internal telah dilakukan seraya dirintangi sistematika hierarkis yang ada, dan masih belum ada juga tindak lanjut yang dilakukan oleh ‘A’. Tidak ayal lagi, langkah yang diambil olehnya justru malah menggiring ‘subjek yang mengkritik’ (selanjutnya akan disebut ‘B’) untuk mengambil cara nonformal, dengan resiko yang jauh lebih berbahaya bagi kredibilitas ‘A’.

Akan tetapi tentu saja cara nonformal bukanlah cara yang paling tepat. Banyak kelemahan jika pemberian kritik diterapkan melalui jalur ini. Selain membahayakan reputasi ‘A’, ‘B’ juga akan menerima pandangan negatif, sebagai musuh dalam selimut jika berdiri dalam satu entitas yang sama dengan ‘A’.
Lalu apa yang sebaiknya ‘B’ lakukan? Apakah kritikan ‘B’ akan selamanya diacuhkan oleh ‘A’ sehingga ‘B’ memilih untuk mencari langkah-langkah baru lagi dalam mengkritik? Sementara suara ‘B’ semakin lama semakin lirih, semakin lelah, dan semakin hilang akal mencari solusi yang lebih akomodatif bagi kedua belah pihak.

Hanya satu hal yang dapat disimpulkan oleh ‘B’, bahwa keacuhan ‘A’ akan kritik membuktikan dirinya sama sekali inkompeten dan immature dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana yang seharusnya ia lakukan. Amat sangat disayangkan jika proses interaksi dan komunikasi antar kedua belah pihak tidak dapat berjalan dengan lancar. Percuma saja ‘A’ mengusung konsep demokratis, sementara ada kritikan-kritikan (konstruktif) tertentu yang dianggap irelevan lantas diacuhkan. Percuma saja ‘A’ memberi sanksi, toh ‘B’ akan terus melawan.

.P as ‘B’

Pandji Putranda
(Jurnalistik 2009)

BIRU

Ba bi bu be bo

Ra ri ru re ro

Bara biri

Bira bari

Buru bere

Beru bure

Boro robo

 
Baris tiga huruf satu

Baris empat huruf dua


Baris lima huruf tiga

Baris enam huruf empat


 
Baris... Aduh lelah aku menambah kata

Sudahlah, itu Biru maksudku.


Edward Prastanto (Public Relation 2009)

Pura-pura? Jujur?

Aku baru menyadari kalau yang namanya menyembunyikan perasaan itu
adalah hal yang benar-benar sangat susah. Bagaimana tidak, kau harus
bertahan dengan sebuah senyum palsu di wajahmu ketika kau ingin
menangis, atau kau harus terpaksa berkata tidak apa2 meskipun kau tau
bahwa hatimu tidak begitu.


Sakit sekali.


Kita membuat sebuah kebohongan ketika berpura-pura.
Kita membohongi orang lain dengan mencoba memberitahu kondisi kita-yang sebenarnya
tidak seperti apa yang mereka lihat-. Kita menipu diri kita sendiri
dengan meyakinkan bahwa kita masih kuat, kita bisa, padahal
kenyataannya tidak!




Hari ini aku melihat seseorang. Aku menangkap seraut wajah yang tidak
bahagia sama sekali. Ada guratan penyesalan, kesedihan, dan rasa
bersalah yang teramat sangat di wajah itu. Tapi dia tidak mengganti
kesedihannya itu dengan topeng senyuman atau tawa. Dia tetap memakai
wajahnya yang seharusnya itu dan tidak berniat mengganti wajah itu
dengan wajahnya yang lain.


Kenapa dia tidak tersenyum saja biar orang lain tidak terganggu?!
Begitulah yang kupikirkan saat itu juga bersamaan dengan perasaanku
yang seolah merasakan kepedihan yang dia rasakan.


Akan tetapi, ada sisi lain dari diriku yang mencoba menyadarkanku akan
sebuah kejujuran kecil yang dia lakukan. Ada bagian dari diriku yang
mencoba mengatakan bahwa apa yang dia lakukan itu benar.


Akhirnya aku tersadar. Raut kesedihan itu bukanlah sebuah hal salah
apabila dia tunjukkan. Dia sedang mencoba menguras rasa sakitnya itu
keluar melalui ekspresi wajahnya.


Melalui ekspresinya, aku dapat merasakan sebuah rasa sakit yang
seharusnya tidak perlu kurasakan. Tapi disaat bersamaan, ekspresinya
juga menyadarkanku tentang arti dari kejujuran, meskipun sangat kecil
dan mungkin terkesan mengganggu. Aku mempelajari sebuah kejujuran
kecil yang dibuatnya. Memang hanya kejujuran kecil, kejujuran yang
begitu kecil namun berhasil mengalahkan si Pura-pura raksasa itu.




-written note by Erika Feronica, Public Relation 2009-

Friday, December 3, 2010

Punya Masalah Apa Kamu Dengan “Kami”?

Kamu merasa “kami” mempersulit?
Kamu merasa “kami” sudah memotong kekritisanmu?
Kamu merasa “kami” membuat risih dengan norma yang “kami buat”?
Kamu tidak senang?
Kamu tidak setuju?
Kamu marah?

Maaf dengan berat hati “kami” tidak bisa menerima itu
“kami” baru, belum terbiasa!


Efraim Tirto Widyanto
Jurnalistik 2008

Dia.. Dalam hatiku


Tiga tahun lalu kami duduk berdampingan di sebuah sudut sekolah.
Berbicara. Belajar. Mengerjakan tugas. Bercanda. Bercerita tentang diri masing-masing.
Aku tahu masa lalunya cukup kelam. Namun aku bertahan demi satu tujuan.
Mendapatkan cintanya.
 Sekaligus memberinya kebahagiaan yang tak pernah ia kecap sebelumnya.
Dan ketika aku berhasil mendapatkannya ke dalam pelukanku, aku bersumpah, aku tidak akan menyakiti hatinya. Karena aku tidak ingin melihat butir-butir air matanya bergulir jatuh membentuk aliran sungai kecil dari sudut matanya menuju pipinya.
Aku bersumpah aku tidak akan mengecewakannya. Karena aku menyayanginya seperti menyayangi diriku sendiri.

Dia….
Seorang perempuan berparas cantik dengan rambut sepanjang pinggang berwarna hitam legam.
Seorang perempuan dengan tawa manis yang selalu memancing kedua lesung pipitnya untuk terlihat.
Seorang perempuan yang selalu berpura-pura kuat agar tidak mengundang rasa iba yang menyelinap pada hati setiap orang.
Seorang perempuan yang menjadi pelabuhan hati pertamaku.

Selama beberapa saat kami terbuai dalam cinta kami. Menikmati anugerah terbesar yang mampu diberikan oleh seorang manusia, yakni mencintai dan dicintai.
Namun semuanya tak berlangsung lama karena sebuah badai besar meluluhlantakkan perahu kami.
Dia bermain cinta di belakangku. Bahkan dengan kesadarannya, meskipun ia tahu betapa besar rasa cintaku untuknya.
Tak ayal lagi, kami berpisah.
Aku sadar dia hanyalah seorang perempuan yang haus akan belaian cinta dan kasih sayang, tanpa mempunyai cinta dalam hatinya.
Ia menerima, namun tidak bisa memberi.
Karena ia menganggap semua lelaki hanyalah sebuah mainan yang bisa ia beli bila ia ingin, dan ia buang ketika ia sudah merasa bosan.
Karena ia menganggap cinta adalah sebuah permainan belaka.

Aku tahu hidupku akan terus berjalan. Begitu juga hidupnya.
Namun tidak untuk hatiku. Karena hatiku telah terikat erat dengannya. Karena hatiku telah ditawan dengan seorang penakhluk yang salah. Karena hatiku tidak pernah lepas dari cengkramannya.

Aku menjauh. Mengubur diri agar tidak melihatnya. Tapi setiap kali aku berjalan di pusat kota, tak urung aku mendapati bahwa aku selalu mencari-cari bayangannya dan selalu terpana ketika melihat seorang perempuan berparas mirip dengannya kemudian terhenyak ketika menyadari bahwa itu buakn dia, dia yang kucari-cari.

Tiga tahun telah berlalu. Sedikit demi sedikit hatiku mulai bergerak menjauhi pemiliknya yang lama. Hatiku meronta-ronta dengan liar untuk keluar dari jeruji besi yang sebetulnya aku buat sendiri. Aku merindukannya namun tidak semenggigit dahulu. Seperti pepatah, waktu memang menyembuhkan segalanya.

Semuanya berjalan dengan cepat. Semuanya berubah. Namun ada satu yang tidak akan pernah berubah.

Tak peduli seberapa jauh kita berada sekarang, di belahan bumi mana kita berpisah, seberapa berubahnya kita, tapi ada satu hal yang akan selalu sama. Hari ulang tahun kita akan selalu berada dalam minggu yang sama.


Didedikasikan untuk seluruh kaum laki-laki yang pernah dikhianati oleh perempuan yang teramat sangat dicintainya.



Oleh: Cynthia Panda Kwesnady
         Fakultas Imu Komunikasi 2010
        

HMJ dan Suprastruktur Kampus

by : Fakhriy Dinansyah
(Public Relation 2008)

         Mungkin kita kesal dengan pemerintahan di negara kita saat ini. Atau bahkan mungkin juga kita sudah tidak ingin lagi menjadi bagian dari negara ini karena pemerintahnya yang bobrok. Tetapi, mungkinkah sebuah negara berdiri tanpa adanya pemerintah?
 

        Jawabannya adalah "tidak mungkin", karena Pemerintah sebagai badan Eksekutif adalah sebuah 'suprastruktur' negara yang merupakan syarat mutlak terbentuknya sebuah negara. Yah, seburuk apapun itu.
Berangkat dari analogi diatas, UMN sebagai Universitas yang masih belajar untuk menemukan jati dirinya memerlukan badan eksekutif di setiap jurusan yang menjadi bagian dari struktur universitas.

       Badan eksekutif yang menjadi suprastuktur sebuah jurusan tersebut adalah Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Di UMN, khususnya Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) di dua jurusan (Public Relations dan Jurnalistik), HMJ tersebut bernama "I'M KOM" (Ikatan Mahasiswa Komunikasi).

        Dengan adanya I'M KOM sebagai sebuah suprastruktur kampus sekaligus badan eksekutif jurusan, diharapkan HMJ bisa menjadi wadah yang kompeten bagi civitas academica FIKOM UMN.
Tidak seperti pemerintah negara kita, I'M KOM 'pasti' akan melaksanakan tugas sebaik-baiknya sebagai frontliner mahasiswa dalam setiap aktifitasnya demi kemaslahatan mahasiswa juga.

      Sebaik apa I'M KOM akan menciptakan citra dan reputasi yang baik bagi stakeholder internal dan eksternalnya?? Let we see how I'M KOM will treat 'us' :)!!
I'M KOM, Cor Unum...

Thursday, December 2, 2010

Kamu

                                                                    Bene Krisna
                                                                  Jurnalistik 2009

Kamu...
Ingin kudengar kamu mengucapkan itu padaku
Saat aku baru terjaga di pagi yang masih ranum
Saat sinar matahari masih centil menggoda hangat dari sekelibat di balik tirai kamarku

Ingin juga kudengar, saat nyeri dingin kesepian ini mulai dengan pelan-pelan menggerogoti sendi-sendi pertahanan hatiku

Ingin juga kuucap, saat aku merindukanmu. Saat aku menggigil, meracau, menyebut namamu sesukaku, dalam lelapku ataupun sadarku

Kamu...
adalah episentrum euforia-ku

Ya...
Hanya kamulah yang mampu membuat seluruh alam semestaku diliputi kebahagiaan

Tapi...
Siapakah kamu? Dimanakah Kamu?
Aku sih inginnya kamu yang menjadi Kamu
Bisakah kamu?

Ad Maiorem Dei Gloriam

Sepotong yang Tak Bertulang

Sebidak tanah, kau tebar benih jingga
Haus akan darah, meluap dalam sungai nanak benak

Lucu benar aku ini!
Mengaum pada tembok kekosongan
Merayu pistol yang melepas maut ke arahku
Mencincang buih oleh pisau hati
dan upacara pengantar yang menginjak-injak kepalaku!

Dekat... Dekat benar aku dalam darahku..
Meladeni setiap suruhan sampah mereka
Lalu tanpa kutahu, linggis kepatuhan membelah nadiku
Berlalu-lalang diri dalam pelantaran mereka yang sesat

Tuanku, diri ini mengaku
Dengan lutut penuh derita
dan mulut sebagai peminta

Larutkanlah aku dalam kolam kebijakkan
Biar dapat kugerakkan tongkat kepastian
Bilamana dapat kuteguk airmata Tuan...



Oleh
Lupita (Jurnalistik 2009)
30 April 2010
Tangerang

Di Balik Kesempurnaan Orang No.1 Indonesia


Review Buku Pak Beye dan Istananya
oleh
Silvanus Alvin (Jurnalistik 2009)


Judul Buku      : Pak Beye dan Istananya
Penulis             : Wisnu Nugroho
Penerbit           : Kompas
Harga             : Rp 40.800
Tebal               : 256 halaman

Tak ada manusia yang sempurna. Presiden pun manusia juga, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Wisnu Nugroho, penulis berbakat yang aktif menulis di kompasiana ini menceritakan kejadian-kejadian yang remeh-temeh dan di luar dari mainstream media yang ada. Pak Beye adalah sapaan yang dibuat oleh penulis agar kita memiliki kedekatan dengannya. Keseharian Pak Beye melakukan aktifitasnya di istana negara yang sering muncul di televisi, koran, atau majalah merupakan berita serius. Berita serius ini penting untuk disebarluaskan kepada publik. Namun, tidak hanya berita serius saja yang diliput oleh Wisnu tapi kejadian yang tidak menarik mata juga diliputnya dan di beri bumbu foto-foto yang memberi rasa agar menarik.
Dari tulisannya, hal ini membuktikan bahwa wartawan kadang-kadang bisa iseng juga. Dari masalah sepatu yang dipakai para petinggi negeri kita sampai mobil yang diperbolehkan masuk ke istana negara.
Cesare Paciotti, merupakan salah satu dari judul tulisan Wisnu yang sangat remeh-temeh dan kritis untuk dicermati. Judulnya diambil dari salah satu merek alas kaki yang terkenal, mahal dan pastinya bukan produk dalam negeri. Bermula dari acara buka puasa bersama para petinggi negara kita. Mereka membungkus alas kaki mereka dan menomorinya agar tidak tertukar. Hal ini guna menutupi merek alas kaki mereka yang ajaib. Seperti yang para masyarakat ketahui, para petinggi negara kita selalu meneriaki slogan “Cintailah Produk Dalam Negeri”. Pada kenyataannya, yang memberitahu pun tidak menjalankannya.
Tulisan lainnya, menceritakan mobil apa saja yang boleh masuk ke istana. Pernah mobil Kijang Inova yang dipakai oleh ketua KPK (saat itu) Taufiequrracman Ruki, kerap dicegat petugas Paspampres dan diperiksa cukup lama di pintu gerbang istana.. Selektif. Itulah kata yang tepat untuk menunjukan mobil apa yang diperbolehkan masuk ke istana negara. Karena parkiran istana negara sudah tidak ada beda dengan showroom-showroom mobil.
Suasana saat Pak Beye dan keluarga pindahan dari Istana Merdeka ke Istana Negara juga diceritakan dengan unik oleh penulis. Meski dua istana itu hanya berjarak sekitar seratus meter, tetap saja heboh. Sebagai gambaran, kasur Pak Beye yang superjumbo sampai harus digotong beramai-ramai.
Buku ini sangat menarik untuk dibaca. Cocok untuk kalangan mahasiswa. Bahasa yang digunakannya pun gampang untuk dimengerti. Hingga saat ini, hasil ratusan catatan ringan Wisnu di Kompasiana sudah dibaca  oleh sekitar 750.000 pengguna internet. Maka dari itu, tidak mengherankan bila bukunya pun diminati oleh banyak orang.