(sebuah cerpen singkat dari Pandji Putranda, Jurnalistik 2009)
Orang – orang berdatangan ke rumahku. Kebanyakan kukenal. Tapi banyak juga yang tidak. Mereka berpakaian hitam. Mungkin mereka pikir hitam adalah warna yang mencerminkan duka.
Satu per satu dari mereka masuk. Menyalami ibu yang sudah tidak mampu lagi menangis. Air mata ibu sudah kering sejak kepergian kakakku setahun yang lalu. Dan sejak saat itu, hanya ada tatapan kosong yang membingkai mata ibu.
Satu per satu dari mereka menghampiri peti jenazah. Tubuh itu telah membiru karena kematian yang penuh derita. Satu per satu dari mereka menangis. Beberapa diantaranya sesenggukan. Aku maklum. Kematiannya memang mengenaskan. Gagal ginjal.
Sudah sekitar seratus orang yang datang. Ibuku akhirnya berdiri untuk mengucapkan kata sambutan. Dilanjutkan dengan ajakan doa bersama.
“Terima kasih sudah datang. Andre adalah anak saya yang kedua, yang bungsu. Menyusul kepergian kakaknya yang tahun lalu mengidap penyakit serupa. Terima kasih banyak. Andre pasti tenang di alam sana.”
Aku tidak tahan melihat tangis ibuku semakin menjadi – jadi seperti itu. Aku menghantarnya ke belakang, mencoba menenangkannya dengan memeluknya.
Ibu benar. Aku memang sudah tenang. Kemudian aku pamit sebentar kepada ibu. Aku juga ingin berterima kasih kepada teman – teman yang sudah datang menengok jenazahku.
.p
No comments:
Post a Comment