Wednesday, December 1, 2010

Menuju Kampus Demokratis, Masihkah Utopis?

Bagi mahasiswa pada umumnya, kampus merupakan rumah kedua.
Sebagian untuk alasan-alasan idealis. Bahwa kampus menjadi tempat bersarang dan teman-teman menjadi keluarga. Sebagian lagi sekadar alasan praktis, yakni bahwa kampuslah yang menyita waktu dalam porsi terbesar di setiap harinya.
Kehidupan kampus memang berdenyut secara dinamis. Mudah menemukan berbagai hal di dalamnya. Yang perlu disadari ialah, sebagaimana suatu grafika kehidupan, kampus kaya akan permasalahan pula.
Kembali memakai analogi, sebuah universitas ibarat sebagai sebuah negara. Pihak rektorat (rektor, dekan, dan para staf) serta birokrat (staf administrasi dan operasional) sebagai pemerintahnya. Mahasiswa ialah rakyat. Artinya; mayoritas yang diregulasi oleh penguasa melalui seperangkat sistem. 
Maka agar ‘rakyat’ itu tidak jadi masyarakat yang terinjak oleh intimidasi otoritas, perlu adanya sebentuk badan perlindungan. Fungsinya menyalurkan kepentingan-kepentingan mahasiswa kepada pihak universitas.
Sebab pola itu—di mana kekuasaan terbiasa mencengkeram—bukan rekayasa artifisial, tetapi memang terjadi. Rakyat sebagai pihak paling bawah selalu dikorbankan.
Mari bicara mengenai kasus konkret. Seorang mahasiswa mengalami kekeliruan dalam proses penghitungan presentasi absen yang berakibat fatal. Nilai ujian tidak kunjung didapatnya. Melapor ke pihak universitas berwenang, ia melalui proses alot yang bisa dikatakan tidak bermakna. Toh pada akhirnya, ia tetap harus mengulang mata kuliah tersebut.
Mahasiswa lain, menghadapi situasi sulit ketika ia didakwa mengganti buku perpustakaan, yang tidak dipinjamnya. Siapa menjamin ketidakadilan semacam ini takkan berlanjut dan menimpa Anda suatu hari nanti?
Dalam dua contoh di atas, terbaca sekali betapa lemah posisi mahasiswa di hadapan institusi. Kehadiran badan perlindungan yang mampu mengakomodasi, memediasi niscaya amat membantu. Memberikan mahasiswa sebuih harapan bagi perjuangan haknya.
Jika mungkin ada kecemasan badan semacam ini memiliki kecenderungan menyalahi batas aturan, masih dapat disiasati dengan meminta bimbingan saran dari pihak ketiga. Seorang dosen, misalnya. Namun tentu yang dimaksud di sini ialah dosen di luar pihak rektorat. Dosen tanpa afiliasi ke salah satu pihak sehingga objektivitas dan independensinya pun terjaga.
Badan Proteksi Mahasiswa—izinkan saya menyebutnya demikian—merupakan instrumen untuk mengupayakan negara itu (baca: kampus) menjadi negara demokratis. Membela kepentingan mahasiswa sebagai rakyatnya.
Dan sisi lain yang tidak boleh diabaikan ialah, BPM harus bersifat representatif menyeluruh. Bukan segelintir kalangan saja, melainkan dapat mewakili seluruh mahasiswa, program studi apapun, angkatan manapun.
Sebab nampaknya opinion leader belum menyentuh sekujur permukaan entitas kemahasiswaan. Hanya monopoli kaum-kaum mahasiswa tertentu. Lantas, di mana letak
distingsinya dengan hegemoni kekuasaan yang hendak dikritisi?
Jangan sampai misi awal untuk memproteksi dan membela kepentingan mahasiswa yang terkesampingkan jatuh tergelincir karena badan (yang seharusnya melakukan) proteksi malah ditunggangi beberapa orang.
Bukankah ironi ketika mahasiswa yang sudah berada di tepi justru tersepak—bukan tersokong—oleh rekannya sendiri? Ingat, ini sama sekali bukan badan eksklusif. 

Gloria Samantha
(Jurnalistik 2008)

No comments:

Post a Comment