Saturday, February 19, 2011

S.W.A.T dan Jurnalistik

S.W.A.T. berarti Special Weapons and Tactics. Jurnalistik, menurut Ensiklopedi Indonesia adalah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada.

        Nah, mungkin pembaca bingung mengapa dua hal yang berbeda ini, saya sajikan dalam tulisan di kesempatan kali ini. Tulisan ini terinspirasi setelah saya menonton ulang film S.W.A.T. Filmnya bagus, alur cerita menarik dan banyak adegan tembak-tembakkan. Namun, bukan persoalan film action-nya yang akan saya kupas. Tapi saya akan coba membuktikan betapa penting jurnalistik dalam penerapannya di kehidupan sehari-hari.

         Sebelum saya masuk ke penjabaran yang lebih dalam, film ini diawali dari aksi perampokan di bank. Anggota S.W.A.T., Brian Gamble (Jeremy Renner) terpaksa menembak sandera untuk melumpuhkan penyanderanya. Sesuai dengan aturan S.W.A.T. Gamble dianggap bersalah dan dikeluarkan dari S.W.A.T., dan kepolisian LA. Sementara partnernya, Jim Street (Colin Farrell) hanya dipindahkan ke bagian gudang. 
        
         Konflik antarpartner menjadi salah satu yang ditawarkan S.W.A.T. Wajar kalau penonton bisa menebak kehadiran kembali Gamble untuk balas dendam. Selanjutnya, muncul "Hondo" Harrelson (Samuel L. Jackson), anggota SWAT senior yang ditugasi membentuk tim baru. Ada Jim Street yang pernah di-blacklist. Lalu Chris Sanchez (Michelle Rodriguez), polisi wanita yang sudah tiga kali ditolak masuk S.W.A.T. Pilihan anggota wanita ini memang agak mengada-ada. Sebab, di sepanjang sejarahnya S.W.A.T. tak pernah mencatat satu pun anggota perempuan. Selanjutnya, ada Deacon "Deke" Kay (rapper LL Cool J), polisi hitam yang lebih sering membuat kekacauan. Hanya TJ McCabe (Josh Charles) dan Michael Boxer (Brian van Holt) yang berkenan di hati Fuller.

           Pembuat film berusaha menaikkan tempo ketegangan. Tim S.W.A.T. Hondo ditugasi mengawal Alex Montel (Oliver Martinez). Si penjahat internasional ini melontarkan tawaran US$ 100 juta bagi siapa pun yang bisa membebaskannya dari kawalan S.W.A.T. Sekali lagi, bisa ditebak. Para penjahat geger karena tergiur. Tim S.W.A.T. kelimpungan menghadapi berbagai upaya membebaskan Montel.”

        Bagian yang saya beri warna merah, merupakan kunci untuk menghubungkan S.W.A.T dan jurnalistik. Jika para pembaca pernah menonton film ini, maka selesainya si penjahat melontarkan tawaran US$ 100 juta untuk kebebasan dirinya, media massa langsung serentak memberitakan kejadian ini. Inilah poin penting yang akan saya jelaskan. Hemat saya, media massa tidak boleh menyiarkan begitu saja. Karena, seperti yang kita semua ketahui, penciptaan opini publik didukung oleh salah satu faktor, yaitu pemberitaan oleh jurnalis / media massa. 

          Akibatnya, fatal. Tidak hanya memberi informasi bahwa si penjahat, Alex Montel, sudah tertangkap tapi juga memberi informasi bagi para penjahat lain untuk membebaskan dirinya.
Memang kejadian ini, saya ambil dari film. Tapi, kesalahan yang mirip seperti ini mungkin terjadi di dunia nyata. Menurut Bill Kovaach, Committee of Concerned Journalist, “Makin bermutu jurnalisme di dalam masyarakat, maka makin bermutu juga informasi yang didapat masyarakat bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan yang dibuat.”

Jadi, poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa media massa dalam praktik jurnalistik harus hati-hati. Apa yang disampaikkan ke masyarakat belum tentu memiliki respon serupa yang diinginkan oleh si penulis. Pada kasus di film ini, bukannya menjadi info yang berguna tapi malah memperkeruh situasi. Contoh lain, namun nyata dan yang pernah terjadi di Indonesia, mungkin saat terjadinya letusan Gunung Merapi. TvOne, sepengetahuan saya, dilarang untuk meliput karena pemberitaan ke publik sangat berlebihan. Pelarangan itu datang karena mereka dianggap menciptakan ketakutan.

Dari buku “A9ama Saya Adalah Jurnalisme”, karangan Andreas Harsono, dalam bisnis media ada sebuah segitiga yang mewakili tiga siku. Siku pertama adalah pembaca atau pendengar. Siku kedua adalah pemasang iklan. Dan, siku terakhir adalah masyarakat. Mungkin terdengar klise antara pembaca atau pendengar dengan masyarakat. Sekilas sama, tapi berbeda. Perbedaanya terletak pada kepentingan. Dalam media massa, jika lebih mengarah pada siku pertama, maka pemberitaan akan lebih pada apa yang ingin mereka dengar. Tapi dalam siku ketiga, pemberitaan akan lebih berat dalam apa yang penting bagi masyarakat.

Ingat! Salah satu dari sembilan elemen jurnalisme adalah berpihak pada masyarakat. Apabila kita kembali ke film, maka pemberitaan tertangkapnya si penjahat bukan pemihakan pada publik, melainkan pemihakkan pada pendengar atau pembaca.

Akhir kata, segala masalah yang terjadi di dunia ini merupakan masalah komunikasi dan cara menyelesaikan masalah itu juga harus melalui KOMUNIKASI.


Silvanus Alvin, Jurnalistik 2009



Daftar Pustaka:
A9ama Saya Adalah Jurnalisme. Harsono, Andrea. Kanisius. 2010

No comments:

Post a Comment