“Penulis adalah insinyur jiwa manusia”
Kutipan di atas saya ambil dari buku yang ditulis oleh Hong Liu tentang kehidupan Pramoedya A. Toer, dalam buku yang berjudul Pram dan Cina. Saya mencoba untuk memahami apa yang sebenarnya hendak disampaikan oleh Pram melalui kutipan sederhana itu. Melalui metafora itu, Pram hendak menyadarkan para kaum terpelajar untuk bertanggung jawab pada masyarakat dan bangsa. Lantas tanggung jawab apa yang dimaksud? Tanggung jawab yang dimaksudkan adalah bagaimana seorang yang terpelajar bersikap kritis terhadap sesuatu yang dianggapnya melenceng dari nilai moral, kebenaran serta demokrasi yang bertanggung jawab.
Menurut Pram, penulis dan tulisannya adalah hal penting yang tidak dapat dipisahkan. Melalui buah pemikiran kritis dan dinamis yang dimiliki oleh seorang penulis maka akan menelurkan karya tulis yang menggugah, yang memiliki dasar kekuatan untuk menggerakan. Dari tulisan, jiwa manusia akan terbakar dan menyala-nyala. Dari sebuah tulisan, rasa empati dapat tumbuh. Dari sebuah tulisan, negara perlu waspada! Saat semua orang terinspirasi oleh tulisan yang lahir dari buah pemikiran yang kritis, saat itu pula jiwa kita bergolak dan tergerak. Tulisan menjadi wadah penulis untuk berekspresi, mencurahkan segala isi hati dan pikirannya.
Tulisan sederhana ini terinspirasi oleh 140 karakter yang ditulis oleh teman-teman mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) di situs jejaring twitter. Saya membaca timeline dan mem-follow sejmulah akun yang notabene adalah wujud dari organisasi kampus. Tweet yang disampaikan dalam akun tersebut secara garis besar bertujuan untuk membuat sebuah pergerakan. Mengajak semua elemen akademisi, terutama mahasiswa, untuk menyampaikan aspirasinya. Organisasi menjadi fasilitator untuk menampung aspirasi dan tulisan yang nantinya diteruskan pada rektorat. Menurut saya, hal seperti ini adalah keren, menarik dan perlu diapresiasi positif. Seperti pada umumnya di universitas lain, UMN akhirnya juga punya wadah sebagai corong mahasiswa, agar komunikasi antara mahasiswa dengan pihak kampus dapat terjalin secara seimbang.
Kita semua sadar, UMN adalah universitas yang belum lama berdiri. Usianya saja kurang lebih baru empat tahun. Ibarat anak kecil atau remaja, kampus ini masih dalam tahap mencari jati diri yang utuh. Tentu masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi. Inti permasalahannya terletak pada kurangnya transparansi dan kurang idealnya komunikasi yang terjalin antara mahasiswa dengan kampus. Tapi, semua itu bukan halangan. Hal ini terbukti dengan adanya semangat untuk menyeimbangkan peta kekuatan antara mahasiswa dengan otoritas kampus. Kehidupan intra kampus adalah arena kebebasan mimbar akademik yang demokratis. Dimana aspirasi dan suara tidak seharusnya ditutup-tutupi.
Berorganisasi dan berpendapat adalah wahana pembelajaran mahasiswa untuk belajar berpolitik di dalam kampus. Dengan instrumen sistem organisasi kemahasiswaan yang egaliter yang merupakan wujud dari simulasi pemerintahan kecil yang ditandai dengan adanya student government. Lengkap menyerupai kelembagaan formal seperti layaknya sistem pemerintahan negara. Mulai dari badan legislatif mahasiswa dan badan eksekutif mahasiswa baik di tingkat universitas maupun jurusan. Selain itu masih dilengkapi oleh badan-badan kegiatan otonom mahasiswa seperti pers mahasiswa yang menerbitkan koran atau majalah kampus sebagai media tulisan. Tentunya dari organisasi-organisasi ini diharapkan akan memunculkan pemikiran-pemikiran yang berani, muktahir, kritis dan relevan dengan keadaan yang berlaku saat ini.
Saya melihat, sudah ada jiwa dari teman-teman mahasiswa UMN yang tergerak untuk sebuah perubahan. Semua mahasiswa, semua angkatan bersinergi untuk menyumbang aspirasi untuk mewujudkan cita-cita demokrasi yang sehat. Bukan memaki tetapi berjuang untuk mencapai tujuan bersama. Berharap, semangat itu tidak luntur dan terus berkobar sampai apa yang diperjuangkan tercapai.
Sedikit hal yang bisa saya bagi sebagai gambaran usaha perjuangan mahasiswa dalam kancah perubahan Indonesia. Sejarah pernah mencatat pada tahun 1979-1980, muncul sebuah kelompok yang dikenal dengan sebutan Petisi 50 yang menuntut kebebasan berpendapat dan berpolitik yang lebih luas pada era orde baru. Kelompok ini terdiri dari politisi, aktivis mahasiswa, akademisi dan tokoh sipil yang bergabung untuk mengkritisi pemerintahan Soeharto melalui media cetak dan selebaran yang berisi kasian politik pemerintahan orba.
Lahirnya Petisi 50 membuat Soeharto geram. Sebagai balasannya, Soeharto mencekal para penandatangan Petisi 50 yang terdiri dari 50 orang tokoh nasional termasuk mahasiswa. Tujuan dari kelompok ini adalah sebagai pressure group yang senantiasa hadir menekan pemerintah, sehingga membuat pemerintahan Soeharto sering direpotkan oleh pernyataan-pernyataannya yang tajam.
Pada tahun 1984, kelompok ini menuduh Soeharto telah menciptakan negara dalam satu partai. Memunculkan banyak penentang, hingga meletus peristiwa Tanjungpriok yang menewaskan sejumlah orang. Soeharto bereaksi keras, dan pencekalan pun tak terhindari. Semua anggota Petisi 50 dihilangkan hak perdatanya dan dimasukan kedalam penjara.
Namun, apa yang sudah terjadi pada Petisi 50 tidak menyurutkan niat masyarakat terutama mahasiswa untuk membuat perubahan. Usaha terus dilakukan oleh setiap kampus melalui media kampus masing-masing. Berawal dari organisasi yang menjadi mimbar kebebasan berekspresi, menciptakan sebuah tatanan demokrasi yang didambakan, kemudian memunculkan aspirasi melalui tulisan yang tertuang di dalam media kampus. Mahasiswa menjadi pers yang tajam, mengingat media masa saat orba sangat dikekang dan dilarang untuk menyinggung pemerintah. Pers mahasiswa menjadi kendaraan untuk melemparkan suara kemerdekaan berpendapat.
Setidaknya dapat dicatat di UGM pada tahun 1986, terdapat 47 penerbitan fakultas dan jurusan. Para penerbitan dari masing-masing fakultas itu kemudian mengadakan Seminar Pers Mahasiswa se-UGM yang sepakat untuk menerbitkan media tingkat universitas, berbentuk majalah yang berorientasi intelektualisme, bukan politik. Majalah yang terbit pertama kali Balairung, pada 8 Januari 1986. Sampai dicabut ijinnya, Juli 1990, Balairung terbit sekitar 14 kali dengan tiras sebesar 2500-5000 eksemplar.
Dari sejarah di atas, saya ingin menggaris bawahi, bahwa organisasi kampus dan media kampus merupakan senjata terpenting untuk melahirkan demokrasi yang diidam-idamkan. Di sinilah semua aspirasi ditampung dan disiarkan. Di sinilah kebebasan berpendapat dijunjung tinggi. Dari sebuah pemikiran yang kritis, lalu kemudian dituangkan dalam tulisan maka sebuah pergerakan akan lahir.
Mari, secara bersama-sama kita ciptakan nuansa demokrasi yang bebas, sehat dan bertanggung jawab. Belajar dari pengalaman yang sudah pernah terjadi, bahwa sebuah rezim dapat tumbang hanya karena pemikiran yang kritis dan cita-cita reformasi yang menjunjung moral serta etika. Mari kita tumbuhkan suasana demokrasi di lingkungan kampus untuk menciptakan arus komunikasi dua arah yang seimbang. Organisasi kampus dan media kampus, sekali lagi, memiliki peran penting untuk terciptanya sebuah pergerakan dan perubahan. Semoga api semangat dalam diri kita tidak pernah padam hingga perubahan yang kita cita-citakan tercapai.
Albertus Magnus Prestianta
Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara,
Jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik 2007
No comments:
Post a Comment